Semicolon: Disaat kamu memiliki kesempatan untuk mengakhiri hidup, tetapi memilih melanjutkannya

Pernahkah kamu melihat seseorang memasang tato simbol titik koma ( ; ) pada bagian tubuh, tepatnya di bagian lengan, lalu apa kamu tahu maksud dari simbol titik koma tersebut? Atau, apakah kamu berpikir bahwa dia seorang maniak pencinta tanda baca?

Dilihat dari kegunaannya dalam hal kepenulisan, tanda baca titik koma ( ; ) adalah tanda baca yang digunakan sebagai pemotong atau pemberi jeda pada suatu kalimat. Tanda baca titik koma ( ; ) pertama kali digunakan oleh penulis terkemuka Inggris bernama Ben Jonson pada tahun 1951, dalam bahasa Inggris tanda baca ini disebut semicolon.

Dalam artikel ini saya tidak akan menjelaskan semicolon dari sisi ilmu bahasa, tetapi dari sisi kesehatan mental. Tanda baca semicolon digunakan dalam dunia kesehatan mental sebagai simbol dari gerakan anti bunuh diri. Simbol ini pertama kali diperkenalkan dan digunakan oleh organisasi non profit USA yang bernama Project Semicolon yang memiliki fokus pada gerakan anti bunuh diri. Organisasi ini didirikan oleh Amy Bleuel pada 2013.

Tren Tato Semicolon

Simbol ini pernah mejadi tren tato beberapa tahun yang lalu. Dunia maya dibanjiri dengan foto orang-orang yang memamerkan tato semicolon mereka. Bukan sekedar bergaya, tapi mereka juga ikut mengkampanyekan untuk memberikan dukungan moral kepada orang-orang yang sedang depresi dan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup. Gerakan ini digagas oleh Amy Bleuel pada tahun 2013, ia mendedikasikan gerakan ini untuk ayahnya yang meninggal dengan cara mengakhiri hidupnya sendiri. Setelah ayahnya meninggal bunuh diri, Amy berjuang mengatasi depresi hingga suatu hari dia tersadar dan ingin melakukan suatu hal untuk mengenang ayahnya sekaligus menumbuhkan kesadaran terhadap kasus kesehatan mental. Dengan Project Semicolon, Amy bisa melakukan dua hal tersebut.

Amy Bleuel mengatakan bahwa simbol semicolon dipakai oleh seorang pengarang atau penulis ketika sebenarnya ia bisa mengakhiri kalimatnya, tetapi memilih tidak mengakhirinya. Pengarang digambarkan sebagai diri kita dan kalimat tersebut menggambarkan hidup kita.

Isu Kesehatan Mental yang Memprihatinkan

Isu kesehatan mental sudah seharusnya menjadi perhatian saat ini, apalagi ditambah dengan kondisi pandemi yang secara tidak langsung memberikan pengaruh dan memperburuk kesehatan mental. Keadaan ekonomi yang tidak stabil, menyempitnya lapangan pekerjaan di situasi pandemi, ketakutan akan virus yang mengancam diri, ditambah lagi dengan adanya stress karena pembatasan kegiatan di luar rumah telah memberikan tekanan secara psikis terhadap kesehatan mental kita.

Melansir dari situs WHO, hampir 800.000 orang di dunia meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Itu berarti setiap 40 detik, ada satu orang yang meninggal dengan cara bunuh diri. Bunuh diri telah menjadi penyebab utama kematian ke-18 pada tahun 2016, dengan menyumbang 1,4% kasus kematian di seluruh dunia.

Situasi pandemi yang memberikan tekanan terhadap kesehatan mental telah menyerang banyak orang, tak hanya orang dengan gangguan mental serius saja, tetapi juga pada mereka yang sudah lanjut usia karena mereka lah yang lebih rentan terhadap infeksi Covid-19. Anak-anak juga rentan mengalami stress karena terpaksa belajar dan bermain di dalam rumah tanpa adanya interaksi langsung dengan teman-temannya. Stress juga rentan dialami oleh mereka yang mengalami kekerasan berbasis gender. Juga, para garda terdepan, yaitu dokter dan tenaga kesehatan lainnya telah menjadi orang-orang dengan resiko tertinggi juga mengalami stress.

Stigma Negatif di Masyarakat Terkait Kesehatan Mental

Meskipun permasalahan kesehatan mental telah gencar digaungkan di ranah publik, tetapi stigma terkait kesehatan mental masih saja melekat kuat pada mereka yang mengalami permasalahan mental ataupun yang sedang mencari bantuan profesional. Padahal, memiliki permasalahan atau gangguan mental dan mencari bantuan profesional adalah bentuk usaha manusia untuk bisa beradaptasi dengan keadaan hidupnya. Terlebih dengan keadaan pandemi sekarang ini, maka sangatlah wajar apabila kita merasa tidak aman dan butuh bantuan. Dengan menyadari kondisi di dalam diri dan mencari bantuan bukanlah sesuatu yang lemah dan memalukan, tetapi justru menjadi sebuah langkah yang berani untuk terus memperjuangkan kesehatan mental kita. Untuk bisa merasa aman, siapapun berhak mengolah stressnya dan memproses emosi-emosinya dengan baik dengan caranya sendiri maupun melalui bantuan professional, karena kita semua berhak untuk sehat mental.

Judgement dan stigma terhadap siapapun yang datang ke psikolog/psikiater kini menjadi sangat tidak relevan. Maka, mari bersama saling mendukung dan berhenti memberikan stigma pada siapapun, bahkan pada mereka yang bertugas secara profesional di bidang kesehatan mental sekalipun (psikolog/psikiater). Karena terkadang mereka juga membutuhkan bantuan untuk tetap sehat mental. Mari membangun budaya saling mendukung untuk kesehatan mental bersama.

Saya juga menjadikan simbol semicolon sebagai wallpaper ponsel saya untuk mengingatkan bahwa sesulit apapun masalah yang sedang dihadapi, cobalah untuk tidak menyerah. Seperti sebuah kalimat yang saya kutip dalam buku yang berjudul Polaris Musim Dingin karya Alicia Lidwina yang bertuliskan:

“Hiduplah untuk satu hari lagi, berjuanglah untuk satu hari lagi, dan kau akan tahu bahwa hidup tidak seberat yang kau pikir.”

Untuk kalian yang saat ini sedang mengalami depresi dan berniat untuk mengakhiri hidup, saya mohon cobalah untuk tidak menyerah. Ingatlah hari dimana kamu ingin turun dari tempat tidur di pagi hari dan kamu berpikir “Saya tidak akan mampu bertahan” dan ingatlah ketika di banyak masalah hidupmu berapa kali kamu mengatakan hal yang sama (dan ternyata kamu berhasil melaluinya). Depresi bukanlah sebuah tanda kelemahan, itu adalah tanda bahwa kamu sedang mencoba untuk lebih kuat dalam waktu yang lama.

Muhamad Rizki
Muhamad Rizki

Komentar

  1. Aku menyesal baru menemukan artikel ini, terima kasih telah membuat artikel tentag ini yang mana sangat membantu, terutama saya. Tolong jangan berhenti menulis artikel tentang mental illness. Aku harap kamu selalu diberikan kesehatan oleh Tuhan yang mana Esa.

    BalasHapus

Translate