Perubahan Iklim : Prediksi Ilmuwan Mengenai Masa Depan Bumi

….Hari-hari yang ku anggap remeh. Kini terlihat sangat berbeda. Aku punya hari-hari yang ku inginkan kembali. Aku punya dirimu yang ingin ku temui lagi. Ada banyak kata terima kasih yang belum ku sampaikan….

Kutipan di atas merupakan penggalan lirik dari lagu yang berjudul Cocorononaca yang dipopulerkan oleh sebuah band dari Jepang, yaitu Radwimps. Jika dicermati, lirik tersebut menggambarkan kondisi kita saat ini yang sedang berjuang menghadapi pandemi. Dulu, saya seringkali meremehkan hari-hari di mana saya bisa berkumpul dan tertawa bersama orang-orang yang saya sayangi. Namun, kini semua hari-hari normal itu nampaknya sangat sulit untuk saya dapatkan kembali, begitupun dengan kenangannya.

Sudah lebih dari setahun kita hidup berdampingan dengan makhluk yang super kecil, yaitu Covid-19. Makhluk ini telah memaksa kita untuk membatasi kegiatan sehari-hari. Nampaknya, makhluk super kecil ini belum mau menjadi sejarah dan berpisah dengan umat manusia, sehingga si makhluk super kecil ini terus melakukan mutasi demi mempertahankan eksistensi.

Menurutmu, kapan pandemi Covid-19 berakhir?

Sebuah survei dilakukan oleh Populix pada tahun 2020, data menunjukkan saat Covid-19 mulai mewabah di Indonesia, banyak terlihat masyarakat optimis bahwa pandemi ini akan berakhir setidaknya sebelum bulan Juli 2020. Karena situasi pandemi yang berkepanjangan, masyarakat semakin pesimis dan tidak yakin kapan pandemi akan berakhir.

Melihat semakin buruknya perkembangan Covid-19 dengan banyaknya jenis mutasi virus Covid-19, pernahkah kamu berpikir bahwa musuh super kecil kita ini adalah sebuah trailer dari film box office yang sedang menyambut kita di masa mendatang? Mungkin dengan skenario seperti ini: Es kutub yang mencair, tsunami, kebakaran hutan, wabah penyakit menyerang, atau perang saudara.

Tapi, bukankah semua hal itu sudah terjadi?

Tepat, semua hal itu memang sudah terjadi, tapi bagaimana jika intensitasnya terus meningkat? Sebelumnya kebakaran hutan berjumlah enam ribu tiap tahunnya, namun di masa depan menjadi puluhan atau mungkin ratusan ribu kasus. Ketinggian gelombang tsunami meningkat dua kali lipat daripada gelombang tsunami terbesar sepanjang sejarah. Konflik perang saudara meningkat sebasar 10% - 20% dari jumlah konflik yang ada saat ini. Wabah penyakit yang ada pada zaman dulu, bangkit kembali di masa depan.

Semua hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi di masa depan. Para ilmuwan telah memprediksikan kejadian-kejadain seperti itu akan menyambut kita setidaknya 30-70 tahun dari sekarang. Semua kejadian itu dapat terjadi hanya karena dipicu oleh satu peristiwa, yaitu Perubahan Iklim.

Peningkatan suhu yang memprihatinkan

Peningkatan suhu bumi pada beberapa dekade terakhir telah memberikan perhatian lebih kepada para ilmuwan dan juga seluruh umat manusia. Semakin hari suhu bumi semakin meningkat diakibatkan oleh pemanasan global. Pemanasan global merupakan peningkatan konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas lainnya pada atmosfer bumi yang membuat atmosfer bumi menahan lebih banyak panas dari matahari. Pemanasan global dipicu oleh penggunaan bahan bakar fosil dan konversi lahan dengan cara membakar lahan. Kegiatan ini menghasilkan gas-gas, terutama gas karbon dioksida (CO2) yang semakin lama semakin memanaskan atmosfer bumi melalui proses yang disebut efek rumah kaca.

Pada tahun 2019, Observatorium Mauna Loa di Hawai mencatat bahwa konsentrasi karbon  dioksida (CO2) telah mancapai ambang batas, yaitu 415 ppm. Ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah umat manusia. Sebelum manusia modern ada, bumi belum pernah mengalami lonjakan tingkat karbon dioksida (CO2) setinggi itu. Selama zaman glasial, kadar karbon dioksida di atmosfer bumi sekitar 200 ppm. Michael Mann, seorang profesor di bidang meteorologi di Penn State University mengatakan bahwa setiap tahunnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer bumi bertambah sekitar 3 ppm. Menurutnya, hanya butuh sekitar 10 tahun untuk melampaui 450 ppm.

Dampak perubahan iklim

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperingatkan bahwa suhu global yang mendekati 1,5°C di atas suhu pada masa pra-industri akan memberikan dampak yang serius terhadap umat manusia dan keanekaragaman hayati. Peningkatan suhu di atas titik tersebut akan membawa bencana yang besar bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Agar tidak melewati ambang batas 1,5°C, maka dunia harus mengurangi hampir separuh emisi CO2 pada tahun 2030 dan mencapai emisi neto nol pada tahun 2050. Hal tersebut bisa tercapai jika kita sepenuhnya menghilangkan bahan bakar fosil sebagai bahan bakar utama dalam beberapa dekade mendatang.

Gampangnya, perubahan iklim merupakan perubahan yang signifikan dari suhu, iklim, dan curah hujan dalam periode yang lama. Mungkin masih ada yang belum mendapatkan gambaran dari bahayanya kenaikan suhu bumi. Kenaikan suhu bumi 2°C –5°C bisa saja mengurangi puluhan juta populasi makhluk hidup di Bumi dan menghancurkan ekonomi suatu negara. Contohnya, Badai Katarina yang sempat menghancurkan AS dan mengakibatkan 1 juta penduduknya menjadi korban. Permukaan laut yang makin panas picu makin seringnya badai dengan kekuatan makin hebat. Pada kenaikan suhu 1°C saja, ilmuwan memprediksikan bahwa pada tahun 2100 akan ada kenaikan 25 sampai 30 persen badai kategori 4 dan 5, seperti badai Katarina. Dan jumlah badai petir bisa meningkat sampai 40 persen dari biasanya.  Jadi, tidak heran apabila di masa mendatang akan ada banyak bencana alam yang terjadi dan intensitasnya terus meningkat daripada saat ini.

Kenaikan suhu juga memicu mencairnya es kutub dan pemanasan air laut picu kenaikan muka air laut dan suhu laut. Mencairnya es abadi di kutub bisa saja memicu bangkitnya wabah purba. Sekitar tahun 2016 lalu, seorang anak berusia 12 tahun tewas dan 20 orang lainnya terinfeksi antraks di Siberia. Penyebabnya adalah karena bangkai rusa kutub. Lebih dari 75 tahun yang lalu, seekor rusa kutub yang terinfeksi antraks mati dan bangkai bekunya terjebak di bawah lapisan es, di sana ia bertahan sampai gelombang panas datang di musim panas 2016, saat lapisan es mencair. Bangkai itu melepaskan antraks ke air dan tanah di sekitarnya lalu masuk ke persediaan makanan, dan menginfeksi warga.

Selain membekukan makhluk hidup, es juga membekukan sejarah, termasuk virus dan bakteri yang pernah ada. Di Alaska, para ilmuwan telah menemukan sisa-sisa flu Spanyol (1918) yang pernah menginfeksi 500 juta orang, dan mereka juga menduga penyakit cacar dan pes terjebak di bongkahan es di Siberia. Jika suhu global terus meningkat, maka semakin tebal dan dalam lapisan es yang mencair, yang menyimpan virus dan bakteri yang lebih tua lagi. Lapisan atasnya mungkin sisa-sisa epidemi satu atau dua abad yang lalu, lapisan berikutnya serta lapisan-lapisan selanjutnya akan membawa kita pada zaman ribuan atau puluhan ribu tahun yang lalu. Artinya, semakin asing kita terhadap virus atau bakteri tersebut, dan semakin kecil kemungkinan kita memiliki antibodinya. Tidak menutup kemungkinan bahwa penyakit melegenda yang lainnya bisa bangkit kembali di masa depan dan siap menyerang manusia kapan saja.

Nampaknya, dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada, di masa mendatang umat manusia akan lebih sering dihantam pandemi seperti Covid-19. Bukan hanya itu saja, perubahan iklim juga mengakibatkan kebakaran hutan yang semakin luas dan sering terjadi, kemudian ketinggian air laut terus meningkat, gelombang panas menjadi makanan sehari-hari,  dan yang lebih buruknya, mungkin Bumi kita sudah tidak layak huni lagi.

Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab?

Umat manusia bertanggung jawab atas perubahan iklim yang telah terjadi. Kita adalah sutradara dan aktor yang menentukan masa depan bumi, akan berjalan seperti apakah alur  yang akan kita buat? Apakah sesuai dengan prediksi ilmuwan yang menuju sebuah kehancuran? Ataukah kita berhasil mengubah alur cerita menjadi lebih baik?

Kita yang membawa kondisi Bumi semakin buruk setelah revolusi industri. Kita juga bertanggung jawab atas masa depan anak dan cucu kita. Kita bertanggung jawab atas keindahan flora dan fauna yang sudah sepatutnya keindahan tersebut diwariskan kepada anak dan cucu kita. Kita bertanggung jawab atas rasa aman dan nyaman kehidupan anak dan cucu kita dari ancaman-ancaman bencana yang telah kita investasikan. Dan, kita juga harus mengakhirinya dengan akhir yang bahagia.

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya akan mengutip beberapa kalimat dari pidato Severn Suzuki yang berbicara untuk Environmental Childrend's Organisation (ECO) pada tahun 1992, dengan tegasnya ia berkata:

….Saya ingin Anda sekalian menyadari bahwa Anda juga tidak mempunyai solusi (solusi atas Global Warming). Anda tidak tahu bagaimana cara memperbaiki lubang pada lapisan ozon. Anda tidak tahu bagaimana membawa salmon kembali pada aliran deras. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang yang telah punah. Dan Anda tidak bisa mengembalikan hutan yang sekarang menjadi gurun. Jika Anda tidak tahu bagaimana memperbaikinya, berhentilah merusaknya….

Severn Suzuki
Muhamad Rizki
Muhamad Rizki

Komentar


Translate